Selamat Datang di Web Blog IASD

Selamat datang kepada seluruh kolega, kerabat, teman sejawat, seperjuangan, sehati dan sepemikiran atau yang kontra.  Mari berbagi wacana, informasi dan pemikiran dalam rangka secara bersama maju dan berkembang serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang agar dapat bermanfaat bagi sebesar-besarnya kesejahteraan ummat.

Tetap semangat dan mari bergerak bersama membangun sistem pembangunan berkelanjutan sesuai dengan karakteristik potensi wilayah kita sendiri.

 

Selamat berwacana dan

berdiskusi publik secara eletronik.

Leave a comment »

MERETAS JALAN MENUJU KEMANDIRIAN PUBLIK

Meretas Jalan Menuju Kemandirian Publik

Oleh : Yudi Wahyudin

 

Pada zaman Orde Baru pernah populer sebuah motto “pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Motto ini didesain sebagai salah satu jalan agar proses pembangunan yang dijalankan dapat diterima dengan baik oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia. Motto ini sebenarnya mengandung tiga makna utama yang sangat luar biasa cemerlang untuk dicerna dan dipahami agar proses pembangunan yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia.

 

Pertama, pembangunan dari rakyat mengandung makna bahwa pembangunan yang dilakukan merupakan buah karya pemikiran dan rancangan cerdas rakyat dalam merencanakan program yang disodorkan.

 

Kedua, pembangunan oleh rakyat mengandung pengertian bahwa program yang disodorkan dapat dilaksanakan secara bersama oleh seluruh rakyat Indonesia.

 

Ketiga, pembangunan untuk rakyat dapat dimaknai bahwa tujuan pembangunan yang direncanakan dan diimplementasikan secara bersama ini tak lain dan tak bukan semata-mata bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara adil dan menyeluruh.

 

Akan tetapi, pada tataran implementasinya ternyata tidak seindah pemaknaannya. Tidak jarang penggunaan motto ini hanya sebatas slogan, karena kebanyakan desain program pembangunan yang dibangun lebih merupakan inisiatif penguasa atau pemerintah yang dipaksakan kepada rakyat, sehingga bersifat dari atas (top down). Pendekatan pembangunan model ini ternyata bukan saja menuai kegagalan pencapaian tujuan, akan tetapi lebih parah lagi, menggiring rakyat Indonesia ke jurang ketergantungan yang teramat dalam, serta cenderung sesaat dan habis pakai. Program pembangunan tersebut seolah menjadi konsumsi utama rakyat, dan pada gilirannya mendorong rakyat menjadi objek charity para rent seeker untuk mengeruk keuntungan pribadi dan atau kelompoknya. Tentu dengan embel-embel pemberdayaan dan pembangunan masyarakat (community development).

 

Kini, rakyat Indonesia sudah mulai jengah terhadap pola-pola pendekatan pembangunan model ini. Pengetahuan masyarakat akan pentingnya perencanaan dari bawah (bottom up) sudah mulai berkembang seiring dengan semakin banyaknya lembaga swadaya masyarakat dan lembaga penelitian yang peduli terhadap upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Tidak sedikit pula lembaga-lembaga tersebut menjadi mediator dan fasilitator masyarakat untuk mencarikan donatur yang dapat memberikan funding atas program-program pembangunan yang didesain oleh masyarakat sendiri, sesuai kebutuhan.

 

Motto pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat saatnya diimplementasikan sesuai makna yang tersurat dan tersirat. Sudah saatnya masyarakat dapat menjadi subjek pembangunan atas semua program yang dirancang dan menjadi kesepakatan bersama untuk dapat diimplementasikan. Oleh karena itu, desain proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai monitoring dan evaluasi pembangunan harus benar-benar dilakukan secara aspiratif dan partisipasi aktif masyarakatnya.

 

Dalam konteks itu, istilah “3 M” yang dipopulerkan Aa Gym relevan untuk mendorong masyarakat menjadi objek sekaligus subjek pembangunan.

 

Pertama, pembangunan seyogianya dimulai dari hal-hal kecil, sederhana dan dapat terjangkau sesuai dengan kapasitas kita.

 

Kedua, pembangunan seyogianya dimulai dari diri sendiri, seperti membiasakan diri untuk mengimplementasikan pola disiplin kerja dan senantiasa berusaha meningkatkan etos kerja. Dengan demikian pada gilirannya apa yang kita lakukan setidaknya dapat memberikan sumbangsih pembangunan sosial budaya bagi teman-teman sekantor dan atau bagi orang yang dilayani oleh kita.

 

Ketiga, pembangunan yang melibatkan rakyat seyogianya dikerjakan sekarang, meski secara bertahap. Artinya, kita harus dapat memberikan peran signifikan saat ini juga bagi penyelesaian proses pembangunan yang direncanakan.

 

Rancangan pembangunan yang berasal langsung dari masyarakat hendaknya diimplementasikan secara bersama dan bertanggung jawab oleh masyarakat dan diperuntukkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Itu merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh secara terbuka dan penuh dengan kreativitas serta inisiatif cemerlang masyarakat untuk dapat mengantisipasi dan menanggulangi beragam isu dan permasalahan yang selama ini menjadi beban hidupnya. Hal ini merupakan salah satu pendekatan yang saat ini dinilai yang terbaik untuk dilaksanakan dalam rangka meretas jalan menuju kemandirian publik.

 

Suatu perubahan akan mungkin terjadi dan bernilai positif bilamana perubahan benar-benar diusahakan oleh segenap pelaku perubahan. Demikian halnya dengan pembangunan, misalnya saja pembangunan rumah. Rancangan bangunan rumah akan terbangun menjadi rumah sesuai dengan desain yang ada hanya dapat diwujudkan jika rencana tersebut diusahakan dengan segenap kemampuan modal yang dimiliki untuk mewujudkannya.

 

Bilamana rumah yang dimaksud dapat disepadankan dengan wilayah teritorial suatu komunitas, maka pembangunan rumah (wilayah) harus diupayakan sendiri oleh masyarakat setempat dalam komunitas tersebut. Artinya, pembangunan wilayah tersebut seyogianya merupakan inisiatif masyarakat sendiri untuk maju, dan dilakukan sendiri dengan segenap kapasitas dan kapabilitas yang tersedia. Kemudian, hasilnya dapat dipetik untuk sebesar-besarnya manfaat jangka panjang dari masyarakat.***

Dimuat pada Harian Suara Karya, Rabu, 24 Oktober 2007

 

Leave a comment »

MENGELOLA SAMPAH UNTUK KESEHATAN LINGKUNGAN

Mengelola Sampah untuk Kesehatan Lingkungan

Oleh : Yudi Wahyudin

 

 

Banjir di DKI Jakarta beberapa hari lalu tidak saja menyisakan nestapa bagi korbannya, tetapi juga sampah yang menggunung. Sampah yang berserakan itu tidak saja mengganggu kebersihan kota, tetapi juga menimbulkan bau tak sedap yang menyesakkan dada. Sungguh sampah atau limbah telah menjelma menjadi momok bagi kebersihan, keindahan dan keamanan (K3). Kalau saja masyarakat mau peduli terhadap sampah.

 

Apakah benar sampah-sampah atau limbah itu sudah sedemikian susahnya untuk dikelola, sehingga hal itu menyebabkan tragedi lingkungan dan kemanusiaan sekaligus? Bagaimana pemerintah menanggapi upaya pengelolaan sampah atau limbah ini?

 

Sebenarnya sampah dapat dikelola secara baik, jika setiap komponen memberikan andil dan tanggung jawab yang relatif sama sesuai porsinya untuk mengelola sampah. Jerman merupakan salah satu negara maju yang memberi perhatian ekstra terhadap permasalahan sampah dan limbah.

 

Kendati sistem pengelolaan sampahnya sudah berlangsung puluhan tahun, bahkan lebih dari bilangan seratus, Jerman tetap melakukan upaya peningkatan pengelolaan sampah hingga kini. Jerman berhasil mengelola sampah dan limbah, setidaknya untuk meminimalisasi dampak lingkungan yang ditimbulkan.

 

Kebijakan pemerintah untuk menekankan rakyat, investor, industri dan stakeholders lainnya untuk melakukan pemisahan sampah sebelum dikumpulkan petugas kebersihan Jerman, merupakan salah satu bentuk pengelolaan yang efektif. Padahal, ketika itu kebijakan pemisahaan sampah tersebut sempat menimbulkan cibiran masyarakat sebagai tindakan buang waktu dan tidak menguntungkan.

 

Akan tetapi, sekarang penduduk Jerman sudah bisa berbangga bahwa manfaat pemisahan sampah yang dilakukan mereka ternyata membawa hasil dan dampak yang cukup besar terhadap pengelolaan lingkungan di Jerman. Saat ini, Jerman telah berhasil menjadikan sampah sebagai sumber bahan daur ulang dan mampu memproduksi barang-barang yang secara efektif mampu mengurangi tekanan ekologi, fisika dan kimia terhadap lingkungan sekitarnya.

 

Banyak barang yang dijual di pasar atau supermarket di Jerman berasal dari bahan daur ulang, bahkan beberapa di antaranya menjadi salah satu bahan ekspor.

 

Salah satu manfaat dari berkembangnya industri daur ulang di Jerman adalah terjaganya sumber daya hutan yang ada di salah satu negara maju tersebut. Saat ini sekitar 40 persen wilayah Jerman merupakan hutan.

 

Di sisi lain, penduduk Jerman saat ini bisa langsung meminum air dari PAM-nya Jerman tanpa ragu, dikarenakan sistem pengelolaan air yang dilakukan begitu integratif dengan pengelolaan lingkungan secara keseluruhan, termasuk pengelolaan sampah dan limbah.

 

Air dikelola menjadi tiga bagian sumber daya; yaitu air permukaan (air sungai), air tanah muda atau air mata air, dan air tanah tua (ground water). Sementara limbah air juga dibagi menjadi beberapa sumber, yaitu air hujan, air limbah rumah tangga, air limbah industri.

 

Sampah sendiri dipisahkan menjadi beberapa bagian; yaitu sampah sisa makanan (nasi, roti, ikan, dsb), sampah eletronik, sampah kertas, sampah kardus, sampah kaleng, sampah gelas, sampah plastik, sampah kimia (seperti batu baterai, cat, dsb), dan sampah organik (tebangan pohon, daun, dsb).

 

Pengelolaan pemisahan sampah itu sendiri dilakukan secara individual pada masing-masing rumah tangga, kendati mereka juga tetap harus membayar pajak pembuangan sampah sebagai sumber pendanaan pengolahan sampah. Setiap rumah tangga harus memisah-misah sampah sebelum mereka meletakkannya di beranda rumah untuk kemudian diambil oleh petugas kebersihan Jerman.

 

Dahulu sebelum proses itu dilakukan sendiri oleh masing-masing rumah tangga, tugas pemisahan dilakukan oleh petugas kebersihan, sehingga jumlah petugas kebersihan yang harus disediakan begitu banyak dan terlihat tidak efisien.

 

Hasil pemisahan sampah tersebut kemudian diolah oleh pihak yang bertanggung jawab terhadap masing-masing bagian pemisahan, baik untuk didaur ulang maupun untuk proses minimalisiasi dampak lingkungan.

 

Sungguh sistem permisahan sampah ini telah berhasil menarik perhatian investor dan membuka peluang industri tersendiri. Karena sumber daya sampah akan selalu terkait dengan aktivitas dan kebutuhan manusia yang setiap saat akan tersedia dan menjadi input produksi industri ini.

 

Pada gilirannya, pemerintah juga mendapatkan pajak produksi yang kemudian akan kembali dapat digunakan sebagai dana pembangunan.

 

Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Jerman merupakan salah satu pelajaran penting dan bukan tidak mungkin dapat diimplementasikan di Indonesia. Namun demikian, implementasi ini memerlukan kontribusi dan partisipasi penuh semua pihak terkait dengan pengelolaan sampah.

 

Pertama, diperlukan payung hukum pengelolaan sampah yang terintegrasi dengan pengelolaan lingkungan secara keseluruhan.  

 

Kedua, diperlukan pengembangan sistem daur ulang yang lebih efektif dan efisien, dalam hal ini Indonesia mempunyai peluang yang lebih besar, karena sesungguhnya proses ini telah lama dilakukan.

 

Ketiga, diperlukan pemahaman akan pentingnya pemisahan sampah sebagai upaya pengelolaan lingkungan dari masyarakat dan seluruh stakeholder.

 

Keempat, diperlukan integrasi kurikulum pendidikan pengelolaan sampah dan lingkungan sejak dini, sehingga implementasi proses pemisahan sampah ini dapat dilakukan oleh setiap jenjang usia.

 

Kelima, diperlukan sistem pengelolaan dana lingkungan yang terintegrasi dengan sistem pemasaran produk barang dan jasa, sehingga setiap harga barang yang dijual telah terjustifikasi oleh adanya pembiayaan pengelolaan lingkungan. Misalnya untuk sebuah kardus TV biasanya dihargai sebesar Rp 10.000, kemudian diberi harga sebesar Rp. 11.000. karena adanya tambahan harga untuk keperluan dana pengelolaan lingkungan.***

Dimuat pada Harian Suara Karya, Kamis, 15 Februari 2007

Comments (1) »

Konsep Penanganan Kemiskinan Nelayan


KONSEP PENANGANAN KEMISKINAN NELAYAN

Oleh:

SYAIFUL AZMAN, M.Si.

Alumni PS-SPL IPB Angkatan III

 

Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multi dimensi dan ditengarai disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagat salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.

Ironisnya kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat ini justru terjadi pada negara maritim seperti Indonesia yang memiliki sumberdaya pesisir dan lautan yang melimpah. Kemiskinan yang disandang nelayan merupakan salah satu sumber ancaman potensial kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan. Berbagai sebab, salah satunya adalah desakan ekonomi dan tuntutan hidup menuntut masyarakat untuk memperoleh pendapatan melalui usaha ekstraksi sumberdaya perairan dan kelautan dengan menghalalkan segala cara tanpa mempedulikan akibatnya.

Berbagai upaya untuk penanggulangan kemiskinan telah banyak dilakukan, namun pemerintah belum memiliki konsep yang jelas, sehingga penanganan masih bersifat parsial dan tidak terpadu. Akibatnya angka kemiskinan belum dapat diturunkan secara signifikan. Dan justru dengan adanya program penanggulangan kemiskinan, malah jumlah penduduk miskin bertambah.

Keterpaduan penanganan kemiskinan nelayan sangat dibutuhkan sekali, tujuannya adalah untuk menghilangkan egosektor dari masing-masing pemangku kepentingan. Keterpaduan tersebut adalah sbb : pertama, keterpaduan sektor dalam tanggung jawab dan kebijakan. Keputusan penanganan kemiskinan nelayan harus diambil melalui proses koordinasi diinternal pemerintah, yang perlu digaris bawahi adalah kemiskinan nelayan tidak akan mampu ditangani oleh secara kelembagaan oleh sektor kelautan dan perikanan, mulai dari pusat sampai kedaerah. Kedua, keterpaduan keahlian dan pengetahuan, untuk merumuskan berbagai kebijakan, strategi, dan program harus didukung berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keahlian, tujuannya adalah agar perencanaan yang disusun betul-betul sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat nelayan. Ketiga, keterpaduan masalah dan pemecahan masalah sangat diperlukan untuk mengetahui akar permasalahan yang sesungguhnya, sehingga kebijakan yang dibuat bersifat komprehensif, dan tidak parsial.  Keempat, keterpaduan lokasi, memudahkan dalam melakukan pendampingan, penyuluhan dan pelayanan (lintas sektor), sehingga program tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efesien.

Kegagalan penanganan kemiskinan nelayan ini selama ini, disamping kurangnya keterpaduan, juga terdapatnya berbagai kelemahan dalam perencanaan. Untuk itu dalam proses perencanaan harus unsur-unsur sebagai berikut : pertama, perumusan sasaran yang jelas, berupa ; hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan yang dibuat, kelembagaan yang bertanggung jawab, serta objek dari kegiatan. Kedua, pengidentifikasian situasi yang ada, yaitu dengan mempertimbangkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), tujuannya untuk mengetahui kondisi sesungguhnya tentang objek yang akan ditangani. Selanjutnya akan memudahkan dalam menyusun berbagai strategi yang mendukung penanganan kemiskinan nelayan.

Ketiga, penentuan tujuan harus bersifat spesifik (objek, kegiatan, dibatasi waktu dan terukur), sehingga pengentasan kemiskinan nelayan jelas siapa sasarannya dan jenis kegiatan yang akan dilakukan, dan selanjutnya berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian tujuan dapat ditentukan dengan jelas.  Keempat, menganalisa keadaan, pelaksanaan kegiatan harus disesuaikaan antara ketentuan yang telah ditetapkan dengan realiatas yang ada dilapangan, dan apabila terjadi permasalahan diluar dugaan, maka perlu segera dibuatkan stretegi dan tindakan baru untuk menutup jurang perbedaan.  Kelima, pendampingan, monitoring dan evaluasi, pendampingan harus dilakukan awal kegiatan dilaksanakan, sampai paca kegiatan, sehingga akan menjadi bahan evaluasi, apakah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Kesemua unsur-unsur tersebut akan terpenuhi apabila didukung oleh : pertama, penyusunan program harus dimulai dari identifikasi masalah, tujuannya adalah untuk mengumpulkan data dan fakta yang aktual, sehingga akar permasalahan ( isu, penyebab, dampak, lokasi, dll) dapat diketahui dengan jelas. Kedua, dalam pengelolaan program harus jelas proses pengelolaan (perumusan, pelaksanaan rencana, pengawasan dan evaluasi), tidak hanya terfokus pada proses administrasi. Ketiga, tindakan yang betul-betul untuk memecahkan setiap masalah, bukan untuk kepentingan politik penguasa dan pengusaha.

Selanjutnya melalui konsep yang dikemukakan ini akan dapat dirumuskan berbagai strategi pengentasan kemiskinan seperti: perluasan kesempatan kerja,pemberdayaan kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, perlindungan sosial, dan penataan kemitraan global.

Comments (2) »

Strategi Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Mentawai

STRATEGI PENGELOLAAN

SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN

UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

DI KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI

 

Oleh :

 

Syaiful Azman, M.Si.

Alumni Program Pascasarjana IPB, PS. SPL

 

 

1.

PENDAHULUAN

 

Diberlakukannnya otonomi daerah, telah mempawa implikasi terhadap berbagai perencanaan pembangunan di daerah propinsi sumatera barat, terutama sekali dalam pengembangan kawasan pembangunan, sebut saja kota padang dengan konsep kawasan marina dan bay city, kabupaten padang pariaman dengan konsep pengembangan 9 kawasan stategis .

 

Kalau dilahat konsep yang dikembangkan oleh kota padang dengan kabupaten padang pariaman sangat jauh berbeda, dimana kota padang lebih cenderung kearah pesisir (coastal), sedangkan kabupaten padang padang pariaman lebih cenderung ke arah daratan (upland),

 

Dalam tulisan ini penulis tidak membandingkan konsep mana yang lebih baik, tetapi lebih melihat ke arah bagaimana pembangunan tersebut dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan.

 

Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai, maka Kepulauan Mentawai secara resmi telah menjadi daerah yang otonomi, dan secara administratif tidak lagi berada dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Pembentukan kabupaten ini merupakan solusi untuk mengejar berbagai ketertinggalan dibidang pembangunan.

 

Kabupaten Kepulauan Mentawai sebagai wilayah kepulauan, dalam melakukan berbagai aktivitas pembangunan, akan terpusat di daerah wilayah pesisir, karena wilayah pesisir merupakan daerah inter-face antara laut dan daratan yang berhubungan langsung dengan daerah lainnya. Dengan kondisi tersebut dengan sendirinya kawasan pesisir akan menjadi pusat pembangunan, sekaligus pusat pertumbuhan ekonomi.

 

Selanjutnya sebagai wilayah kepulauan, untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi, otomatis sangat tergantung kepada sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, seperti ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang serta ekosistem lainya.

 

Kondisi ekosistem tersebut sekarang sebahagian besar telah mengalami kerusakan dan sangat diperlukan pengelolaan guna pemulihan agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Untuk pengelolaan tersebut diperlukan suatu strategi yang sesuai dengan kondisi wilayah Pulau Siberut, sehingga melalui pengelolaan ini akan dapat mendukung pembangunan di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

 

2.

ISU PEMANFAATAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN DI KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI, DAN PERLU ADANYA PENGELOLAAN

 

Dengan terbentuknya Kabupaten Kepulauan Mentawai, maka kawasan pesisirnya akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, hal ini tentu akan bertambah kompleknya permasalahan yang akan dihadapi oleh Pemerintaha Daerah dalam melaksanakan pembangunan.

 

Pada saat sekarang pada umumnya di kawasan pesisir Kabupaten Kepulauan Mentawai terdapat beberapa isu dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir seperti : (i) Kerusakan hutan mangrove akibat; penebangan dan pencemaran air laut oleh limbah pabrik sagu, (ii) Kerusakan terumbu karang akibat; pencemaran, sedimentasi, pemboman, dan penggunaan potasium cyianida serta eksploitasi terumbu karang; (iii) Konflik pemanfaatan ruang di wilayah pesisir; (iv) Terjadinya konversi penggunaan lahan, karena wilayah pesisir merupakan pusat pertumbuhan ekonomi.

 

3.

ANALISA CARA–TUJUAN DALAM PENDEKATAN MASALAH PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

 

Isu merupakan hal yang sangat abstrak, untuk perlu dibuat suatu rumusan untuk membantu dalam pemecahan masalah. Perumusan tersebut dilakukan dengan analisa. Salah satu metoda perumusan tersebut adalah analisa cara-tujuan. Dengan analisa ini permasalahan dikaitkan dengan cara pemecahannya (Ichsan. C, 1998).

 

Selanjutnya Ichsan. C, (1998) menjelaskan bahwa analisa ini dikembangkan dengan dan bertitik tolak dari membandingkan kondisi yang ada dengan keadaan yang seharusnya ada. Perbedaan yang timbul antara kondisi yang ada atau yang terjadi dengan keadaan yang seharusnya terjadi, harus dicari sebabnya dan ditentukan akibatnya. Hubungan sebab akibat ini dapat digambarkan dalam “pohon masalah”, secara jelas.

 

Dengan terbentuknya Kabupaten kepulauan, maka sebagai wilayah kepulauan secara langsung sektor yang diandalkan untuk peningkatan PAD adalah sektor kelautan, tetapi konstribusi dari sektor ini relatif sangat kecil. Penyebabnya adalah, karena sumberdaya wilayah pesisir dan lautannya tidak dikelola dengan baik, sehingga terjadi degradsi lingkungan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan berupa kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, terjadinya konflik pemanfaatan ruang dan terjadinya konversi penggunaan lahan. Dari sekian banyaknya permasalahan di Kabupaten Kepulauan Mentawai, maka yang paling serius adalah kerusakan terumbu karang. Kerusakan tersebut disebabkan oleh pencemaran, sedimentasi, pemboman dan penggunaan potasium cyianida serta eksploitasi terumbu karang untuk material/bahan bangunan.

 

4.

STRATEGI PENANGANAN MASALAH

 

Sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan diatas, maka dalam hal ini perlu dilakukan strategi untuk penangannya. Untuk membantu mencarikan solusinya dapat digunakan alat bantu, yaitu dengan membuat bagan pohon alternatif

Dari berbagai alternatif yang disajikan untuk pelestarian terumbu karang, maka yang paling efektif dalam pengeloaan terumbu karang di Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah melalui Pengelolaan Berbasis Masyrakat (PBM).

 

5.

BATASAN DAN VISI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

 

Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten termuda (ke 15) Propinsi Sumatera Barat, dengan Luas keseluruhan dari kabupaten ini adalah 6.011,35 Km2 dan terdiri dari 4 buah pulau besar, yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan. Untuk pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat akan dilakukan di Pulau Siberut.

 

Penetapan lokasi ini didasarkan pada (1) Pulau Siberut merupakan pulau terbesar dan (2) Pada Pantai timur Pulau Siberut ini, kaya dengan berbagai sumberdaya pesisir dan lautan, seperti ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang serta ekosistem lainya, tetapi sebahagian besar telah mengalami kerusakan terutama sekali ekosistem terumbu karang dimana kondisinya sangat memprihatinkan sekali dan harus segera dilakukan pengelolaan. Dari berbagai faktor pertimbangan, maka pengelolaan yang paling efesien dan efektif dilakukan adalah melalui pendekatan Pengelolaan Berbasis Masyarakat.

 

Selanjutnya untuk pengelolan sumberdaya wilayah pesisir di Kabupaten Kepulauan Mentawai visinya adalah sebagai berikut :

 

“Terselenggaranya Tata Cara Pemerintahan yang Baik (Good Governance) dan Keterlibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan untuk Mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Mentawai”

 

6.

TUJUAN DAN TARGET PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

 

Secara umum tujuan dari Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) adalah untuk memberdayakan masyarakat agar dapat berperan aktif dan terlibat langsung dalam pengelolaan sumberdaya alam lokal, khususnya terumbu karang dan ekosistem lainnya. Selanjutan sasaran dari (PBM) ini adalah penguatan kelembagaan adat/lokal serta adanya keputusan dari dewan adat.

 

7.

DATA DAN INFORMASI YANG DIBUTUHKAN

 

Data yang digunakan untuk menganalisis pengelolaan berbasis masyarak ini terutama sekali adalah sosial ekonomi nasyarakat dan potensi sumberdaya manusia, seperti mata pencaharian, produk yang dihasilkan dan jumlah penduduk serta tingkat pendidikannya.

Selanjutnya data biofisik yang dikumpulkan meliputi data oseanografi, kualitas air, sumberdaya hayati pesisir dan laut. Parameter oseanografi dan kualitas air yang diukur secara langsung di lapangan (data primer) meliputi: suhu, kecerahan, kedalaman perairan, kecepatan arus, salinitas, kekeruhan, derajat keasaman (pH).

 

8.

PENTINGNYA PENDEKATAN PARTICIPATORY RAPID APPRAISAL (PRA) DAN RURAL RAPID APPRAISAL (RRA) DALAM PENGUMPULAN DATA

 

Untuk penerapan PBM dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan sangat dibutuhkan sekali data dan informasi. Untuk memperoleh data dan informasi tersebut pendekatan yang paling baik digunakan adalah PRA dan RRA. Keunggulan dari metoda ini adalah efesiensi dari segi waktu dan dana dana dalam memahami permasalahan objek yang diteliti serta tidak membutuhkan perhitungan yang sulit (Elfindri, 1995).

 

Selanjutnya melalui metoda PRA dan RRA informasi yang diperoleh lebih mendalam dan menggali semua permasalahan, karena kita akan banyak belajar dan mendengarkan warga masyarakat yang akan menjadi target program pengelolaan terumbu karang. Dengan cara ini juga masyarakat ikut berpartisipasi didalam mengutrakan masalah-masalah yang mereka hadapi. Program yang direncanakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat diharapkan dapat lebih konkrit dan sesuai dengan kebutuhannya.

 

9.

KELEMBAGAAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DI KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI

 

Timbulnya berbagai kerusakan terhadap sumberdaya pesisir salah satu penyebabnya tidak terdapatnya koordinasi dilapangan antar lembaga terkait. Untuk mengatasi kondisi tersebut harus dilakukan peningkatan koordinasi kelembagaan. Pertama sekali yang harus dilakukan adalah menghilangkan ego sektor dari masing-masing dinas/instansi terkait dan selanjutnya harus ada selalu diadakan rapat-rapat koordinasi untuk membicarakan berbagai hal yang menyangkut pengelolaan itu sendiri.

 

Untuk itu Peranan kelembagaan sangat diperlukan sebagai sarana penunjang bagi pelaksanaan kebijakan yang telah menjadi pilihan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kelembagaan hanya akan dapat memberikan perannya secara maksimal apabila kebijakan pemeritah daerah pemafaatan sumberdaya pesisir dan lautan telah ditetapkan secara pasti.

 

10.

DASAR HUKUM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

 

Untuk mendukung pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu harus ditunjang dengan dasar hukum yang jelas, tujuannya adalah untuk pedoman dalam pelaksanaannya.

 

Sampai saat sekarang terdapat beberapa dasar hukum dalam pengelolaan wilayah pesisir diantaranya ; (i) UU No. 4 tahun 1960, tentang perairan Indonesia, jo UU No. 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982 ; (ii) UU No. 1 tahun 1973, tentang Landasan Kontinen pengelolaan sampai kedalaman 200 meter ; (iii) UU No. 4 tahun 1982, tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup ; (iv) UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi sumberdaya alam dan pemenfaatanya ; (v) UU No. 24 tahun 1992, tentang Tata Ruang, mengatur pengelolaan segenap ruang udara, daratan, dan laut dalam konteks spasial ; (vi) UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah ; (vii) Berbagai Peraturan yang di keluarkan di tingkat regional.

 

11.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAN WILAYAH PESISIR TERPADU KEDALAM PROGRAM PEMERINTAH DAERAH

 

Langkah awal yang harus dilakukan dalam pengelolaan adalah membuat berbagai program yang mungkin bisa dikembangkan, agar dalam pelaksanaan tidak terjadi pertentangan (trade-off) dan diharapkan akan timbul program yang saling mendukung. Oleh karena itu untuk pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir di pantai timur Pulau Siberut harus program yang harus dilaksanakan adalah :

 

a.

Pembuatan peta laut atau pantai setiap pulau dan propinsi yang menunjukkan batas-batas 12 mil laut yang menjadi kewenangan Pemerintah daerah, sehingga dapat menjadi acuan bagi penyusunan tata ruang laut daerah dan penentuan alokasi pemanfaatan sumberdaya

 

b.

Penyediaan tenaga staf Pegawai Negeri dengan disiplin ilmu kelautan untuk memperkuat instansi dan dinas otonom Daerah Tingkat I dan Tingkat II, terutama dalam menyusun perencanaan strategis pemanfaatan potensi sumebrdaya kelautan dan mencari solusi bila konflik pemanfaatan dan kewenangan terjadi

 

c.

Pelatihan aparat yang ada dibidang pengelolaan wilayah pesisir. Pelatihan bagi aparatur dilakukan secara non-formal, informal maupun formal. Secara non-formal dibuat on the job training, secara in-formal aparat dapat belajar dari tenaga ahli daerah dan secara formal dikembangkan kursus perencanaan pengelolaan pesisir terpadu

 

d.

Mobilisasi pembiayaan pembangunan wilayah pesisir dari dana BLN dan APBN ke daerah , yang dikembangkan melaluiproyek-proyek kelautan ke berbagai daerah, untuk dikelola daerah

 

e.

Percepatan perumusan dan pengesahan Peraturan Pemerintah serta Peraturan Daerah mengenai kewenangan pemanfaatan sumberdaya kelautan

 

f.

Upaya penanganan masalah konflik pengelolaan wilayah pesisir sehingga diharapkan dapat dilakukan secara reaktif dan pro-aktif. Secara reaktif, artinya pemerintah Daerah dapat melakukan resolusi konflik pengelolaan sumberdaya perikanan, mediasi atau musyawarah dalam menangani permasalahan tersebut.

 

g.

Mengintegrasikan program dari berbagai sektor pembangunan daerah, Swasta dan Masyarakat. Masing-masing sektor menyampaikan maksud, tujuan, sasaran dan rencana kegiatannya, lalu diintegrasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dengan rencana pembangunan pembangunan daerahnya

 

12.

MATERI YANG DIPERLUKAN UNTUK PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU

 

Pada dasarnya kebijakan pembangunan wilayah pesisir guna mendukung pengembangan kota pantai dan kawasan kepulauan, meliputi empat aspek utama, yaitu ; (1) Aspek teknis dan ekologis, (2) Aspek sosial ekonomi-budaya,(3) Aspek sosial politik dan (4) Aspek hukum dan kelembagaan. (Dahuri, 1999)

 

Untuk penerapan ke empat aspek tersebut di daerah sangat ditentukan sekali oleh potensi dan kondisi di daerah. Sehubungan dengan hal tersebut untuk pembangunan di kawasan pantai timur Pulau Siberut harus diterapkan sebagai berikut.

 

1) Aspek teknis dan ekologis

 

Dalam aspek ini setiap kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan harus memperhatikan : (i) Keharmonisan spasial, (ii) Kapasitas assimilisi (daya dukung lingkungan), dan (iii) Pemanfaatan sumberdaya secara berkesinabungan.

 

2) Aspek sosial ekonomi-budaya

 

Dalam aspek ini mensyaratkan masayarakat pesisir adalah pelaku dan sekaligus tujuan dari pembangunan wilayah pesisir dan lautan harus mendapatkan manfaat terbesar dari kegiatan pembangunan tersebut.

 

3) Aspek sosial politik

 

Suasana politik yang demokratis dan transparan merupakan suatu jaminan terhadap terlaksananya pembangunan yang berkesinabungan di wilayah pesisir dan lautan. Untuk mewujudkan kondisi seperti tersebut maka kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan harus memperhatikan beberapa hal berikut:

 

Pertama, dalam menyusun setiap perencanaan pembanguan dan pengelolaan di wilayah pesisir dan lautan, maka setiap perencana harus independen.  Kedua, dalam menyusun perencanaan pembangunan agar dilakukan dalam dua arah, yaitu perancanaan yang bersifat “ top down dan bottom up ”.  Ketiga, pembangunan dan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan juga di ikuti oleh peningkatan pendidikan politik bagi seluruh pelaku pembangunan wilayah pesisir dan lautan.

 

4) Aspek hukum dan kelembagaan

 

Peranan pengaturan hukum dan kelembagaan adalah sarana penunjang bagi pelaksanaan kebijakan yang telah menjadi pilihan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu pengaturan hukum dan kelembagaan hanya akan dapat memberikan perannya secara maksimal apabila kebijakan nasional tentang pemafaatan sumberdaya pesisir dan lautan telah ditetapkan secara pasti.

 

Comments (2) »