MERETAS JALAN MENUJU KEMANDIRIAN PUBLIK

Meretas Jalan Menuju Kemandirian Publik

Oleh : Yudi Wahyudin

 

Pada zaman Orde Baru pernah populer sebuah motto “pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Motto ini didesain sebagai salah satu jalan agar proses pembangunan yang dijalankan dapat diterima dengan baik oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia. Motto ini sebenarnya mengandung tiga makna utama yang sangat luar biasa cemerlang untuk dicerna dan dipahami agar proses pembangunan yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia.

 

Pertama, pembangunan dari rakyat mengandung makna bahwa pembangunan yang dilakukan merupakan buah karya pemikiran dan rancangan cerdas rakyat dalam merencanakan program yang disodorkan.

 

Kedua, pembangunan oleh rakyat mengandung pengertian bahwa program yang disodorkan dapat dilaksanakan secara bersama oleh seluruh rakyat Indonesia.

 

Ketiga, pembangunan untuk rakyat dapat dimaknai bahwa tujuan pembangunan yang direncanakan dan diimplementasikan secara bersama ini tak lain dan tak bukan semata-mata bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara adil dan menyeluruh.

 

Akan tetapi, pada tataran implementasinya ternyata tidak seindah pemaknaannya. Tidak jarang penggunaan motto ini hanya sebatas slogan, karena kebanyakan desain program pembangunan yang dibangun lebih merupakan inisiatif penguasa atau pemerintah yang dipaksakan kepada rakyat, sehingga bersifat dari atas (top down). Pendekatan pembangunan model ini ternyata bukan saja menuai kegagalan pencapaian tujuan, akan tetapi lebih parah lagi, menggiring rakyat Indonesia ke jurang ketergantungan yang teramat dalam, serta cenderung sesaat dan habis pakai. Program pembangunan tersebut seolah menjadi konsumsi utama rakyat, dan pada gilirannya mendorong rakyat menjadi objek charity para rent seeker untuk mengeruk keuntungan pribadi dan atau kelompoknya. Tentu dengan embel-embel pemberdayaan dan pembangunan masyarakat (community development).

 

Kini, rakyat Indonesia sudah mulai jengah terhadap pola-pola pendekatan pembangunan model ini. Pengetahuan masyarakat akan pentingnya perencanaan dari bawah (bottom up) sudah mulai berkembang seiring dengan semakin banyaknya lembaga swadaya masyarakat dan lembaga penelitian yang peduli terhadap upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Tidak sedikit pula lembaga-lembaga tersebut menjadi mediator dan fasilitator masyarakat untuk mencarikan donatur yang dapat memberikan funding atas program-program pembangunan yang didesain oleh masyarakat sendiri, sesuai kebutuhan.

 

Motto pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat saatnya diimplementasikan sesuai makna yang tersurat dan tersirat. Sudah saatnya masyarakat dapat menjadi subjek pembangunan atas semua program yang dirancang dan menjadi kesepakatan bersama untuk dapat diimplementasikan. Oleh karena itu, desain proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan sampai monitoring dan evaluasi pembangunan harus benar-benar dilakukan secara aspiratif dan partisipasi aktif masyarakatnya.

 

Dalam konteks itu, istilah “3 M” yang dipopulerkan Aa Gym relevan untuk mendorong masyarakat menjadi objek sekaligus subjek pembangunan.

 

Pertama, pembangunan seyogianya dimulai dari hal-hal kecil, sederhana dan dapat terjangkau sesuai dengan kapasitas kita.

 

Kedua, pembangunan seyogianya dimulai dari diri sendiri, seperti membiasakan diri untuk mengimplementasikan pola disiplin kerja dan senantiasa berusaha meningkatkan etos kerja. Dengan demikian pada gilirannya apa yang kita lakukan setidaknya dapat memberikan sumbangsih pembangunan sosial budaya bagi teman-teman sekantor dan atau bagi orang yang dilayani oleh kita.

 

Ketiga, pembangunan yang melibatkan rakyat seyogianya dikerjakan sekarang, meski secara bertahap. Artinya, kita harus dapat memberikan peran signifikan saat ini juga bagi penyelesaian proses pembangunan yang direncanakan.

 

Rancangan pembangunan yang berasal langsung dari masyarakat hendaknya diimplementasikan secara bersama dan bertanggung jawab oleh masyarakat dan diperuntukkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Itu merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh secara terbuka dan penuh dengan kreativitas serta inisiatif cemerlang masyarakat untuk dapat mengantisipasi dan menanggulangi beragam isu dan permasalahan yang selama ini menjadi beban hidupnya. Hal ini merupakan salah satu pendekatan yang saat ini dinilai yang terbaik untuk dilaksanakan dalam rangka meretas jalan menuju kemandirian publik.

 

Suatu perubahan akan mungkin terjadi dan bernilai positif bilamana perubahan benar-benar diusahakan oleh segenap pelaku perubahan. Demikian halnya dengan pembangunan, misalnya saja pembangunan rumah. Rancangan bangunan rumah akan terbangun menjadi rumah sesuai dengan desain yang ada hanya dapat diwujudkan jika rencana tersebut diusahakan dengan segenap kemampuan modal yang dimiliki untuk mewujudkannya.

 

Bilamana rumah yang dimaksud dapat disepadankan dengan wilayah teritorial suatu komunitas, maka pembangunan rumah (wilayah) harus diupayakan sendiri oleh masyarakat setempat dalam komunitas tersebut. Artinya, pembangunan wilayah tersebut seyogianya merupakan inisiatif masyarakat sendiri untuk maju, dan dilakukan sendiri dengan segenap kapasitas dan kapabilitas yang tersedia. Kemudian, hasilnya dapat dipetik untuk sebesar-besarnya manfaat jangka panjang dari masyarakat.***

Dimuat pada Harian Suara Karya, Rabu, 24 Oktober 2007

 

Leave a comment